Melihat wujudnya pertama kali membuat ku tak habis pikir. Aku melihatnya sebagai wujud anak lelaki bengal dan tengil yang sebenar-benarnya. Gayanya berjalan dan segala gerak-geriknya pagi itu membuatku dapat menarik sebuah kesimpulan tersebut. Aku bahkan bersumpah, tak akan pernah menyukai anak lelaki macam ini.
Berseragam SMA, dibalut jaket almamater berwarna hijau lumut. Sepatu pantofel yang dipakainya, mengetuk-ngetuk lapangan seraya ia berjalan melewati aku. Aku memerhatikan dia dari sudut mataku.
Matanya hitam bersorot tajam namun binar-binar nakal tak dapat disangkal, kulitnya kecokelatan, beralis tebal, hidung yang terlihat mancung, rambutnya terpangkas pendek rapi dengan menyisakan jambang di bagian kanan dan kiri tulang pipinya, dan tidak ketinggalan bulu-bulu halus tipis di sekitar bawah bibirnya.
Aku tidak tahu siapa namanya dan siapa dia. Dan aku juga tidak begitu peduli dengan kakak kelas tiga tersebut. Aku mengulangi sumpahku dalam hati.
Sumpahku dapat dibantahnya. Dia membobol pertahanan diriku.
Rupanya, aku tidak sanggup melawan anak lelaki bermata tajam dengan binar nakal tersebut. Aku sering melihatnya. Berkerumun bersama teman-teman lelakinya di kantin. Tergelak-gelak. Cengir-cengir jahil sering ku lihat di wajahnya. Atau kadang bersama teman-teman lainnya dalam sebuah organisasi yang ia pimpin. Di suatu kesempatan, aku tahu bahwa dia ternyata seorang pencinta alam. Anak lelaki itu mencintai alam seperti dia mencintai ibunya. Ia begitu memesona.
Dirinya begitu hidup. Penuh gejolak. Berpendirian teguh. Menantang apapun yang ada di hadapannya. Dapat terjun kemanapun selagi ia mau. Begitu ekspresif. Cintanya terhadap sesuatu hal begitu mendalam. Tidak berbasa-basi akan apapun. Begitu bersemangat hingga ia lupa akan luka dirinya.
Hingga pada suatu saat, aku sampai pada suatu kesimpulan. Matanya. Ya, sorot matanya tak pernah dapat aku bantah. Tenang bagaikan telaga namun dapat menyala-nyala seketika. Teduh. Menantang. Kadang berkedip genit dan jahil. Kadang binar nakal terlihat. Kadang, cinta juga berpendar darinya. Atau terkadang, menyala-nyala disaat ia marah. Emosi dan segala yang ada di dalam dirinya terpantul jelas dari kedua bola mata hitam jernihnya.
Aku selalu suka menatap matanya lekat-lekat. Lama. Menyelami dirinya. Ingin tahu apa yang ada didalamnya. Sambil berharap-harap, aku ada di bagian di dalam dirinya. Atau di lain waktu, aku mereka-reka, jika ada, dimana aku berada di dalam dirinya.
No comments:
Post a Comment