1.11.12

Sepenggal Cerita

Malam itu ia menjemputku.
"Makan malam," ujarnya. Akupun menyanggupi ajakannya.
Lalu aku naik ke atas jok vespanya. "Sudah pas?" tanyanya setengah menggoda.
"Ya, sudah," sahutku sambil tersenyum.
Vespa merah yang aku naiki bersamanya kemudian melaju menderu-deru dengan suara khas mesin vespa menyusuri jalanan malam kota. Lampu-lampu bercahaya kuning berpijar di kanan-kiri jalan. Suasana jalanan malam itu cukup menyenangkan. Banyak pasangan muda lain yang juga sedang jalan berdua menikmati waktu malam. Aku tidak tahan untuk tak memeluknya dari belakang kemudian sambil tersenyum-senyum mengingat-ingat kembali masa dulu dibalik punggungnya. Aku tahu apa maksud dia menculikku pergi malam ini.

Dia menghentikan vespanya di suatu tempat makan sederhana di pinggir jalan. Cukup ramai, tapi tidak padat.

Kami tidak banyak bicara malam itu. Hanya sesekali tertawa-tertawa kecil sambil menikmati santapan kami. Setelah beberapa saat, hening sejenak hadir di antara kami.

Seperti yang ku bilang, aku tahu kenapa ia membawaku kemari. Esok hari ia akan pergi dan tak tahu kapan akan kembali. Aku tahu, ini malam terakhir kami sebelum keberangkatannya. Aku ingin sekali bertanya satu hal kepadanya. Tetapi aku terlalu takut. Takut jika jawabannya tak sesuai harapanku.

Tapi aku lagi-lagi tak tahan. Maka, akhirnya aku bertanya di tengah-tengah keheningan, "apakah kamu akan kembali? Ke sini.... Kepadaku?"

Ia tak langsung menjawab. Hanya tersenyum. Hatiku makin tak keruan dibuatnya. Namun tiba-tiba terdengar jawaban, "selama kamu masih mau menungguku," katanya.

Aku menatapnya. Ia lagi-lagi tersenyum. Senyum menggoda dan setengah mengejekku. Kemudian ia berujar, "kamu masih mau menungguku?"

Aku tersenyum kemudian tertawa-tawa kecil. Ia pun juga. Kami biarkan saja pertanyaan itu menggantung di udara. Terbawa angin hingga ke laut. Karena kami tidak butuh jawabannya. Kami sudah tahu.